CatatanKu - Masalah yang selalu hangat dibicarakan menyangkut
umat beragama di Indonesia ialah hubungan timbal balik antara agama dan
pancasila. Pengamalan pancasila sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa
Indonesia, merupakan kewajiban konstitusional. Namun dalam konteks ini,
pancasila harus pula dipandang sebagai bagian dari ajaran luhur semua agama,
karena memang pancasila itu sendiri telah mengandung nilai-nilai agama.
Walaupun selama ini ada semacam slogan bahwa pancasila tidak bisa diagamakan
dan agama tidak boleh di pancasilakan.
Hal ini perlu dijelaskan dimulai dari persoalan
bahwa pancasila mengandung muatan-muatan religius, dan keterlibatan manusia
dalam penyusunannya hanya sebatas merumuskan kalimat-kalimatnya. Teks pancasila
dirumuskan oleh pendiri Republik, yang berawal dari pidato Bung Karno pada 1
Juli 1945 di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun, jika direnungkan
secara mendalam, maka pancasila mengandung nilai-nilai yang bersifat
transendental. Sebut saja, “Ketuhanan yang Maha Esa” adalah kalimat yang
mengandung keharusan bangsa Indonesia untuk beriman kepada Tuhan? Siapa pula
yang menciptakan naluri manusia untuk mengakui adanya Tuhan? Dalam agama-agama
monoteis diajarkan bahwa manusia diciptakan bersama nalurinya untuk beriman,
kemudian Tuhan menurunkan agama kepada manusia sebagai pedoman beriman
kepadanya. Jadi jelas, keharusan beriman kepada Tuhan bukanlah hasil renungan
bangsa Indonesia, atau hasil kontemplasi pemikiran filosof manapun, melainkan
berasal dari syariat Tuhan yang sesuai dengan naluri universal manusia. Atinya,
nilai-nilai yang dikandung Pancasila tumbuh dari dan membudaya dalam kehidupan
religius bangsa Indonesia, jauh sebelum dirumuskannya teks Pancasila itu
sendiri.
Karena itu, Pancasila adalah bagian dari
ajaran agama-agama dan merupakan bentuk pengalaman agama dalam konteks kehidupan
bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Sebaliknya, mengamalkan nilai-nilai
universal agama dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat
secara keindonesiaan berarti telah mengamalkan cara hidup ber-Pancasila. Dengan
kata lain, untuk mengamalkan Pancasila secara utuh dan konsekuen, mustahil
tanpa memandangnya sebagai bagian dari luhur agama yang dianut bangsa
Indonesia.
Pancasila memang bukanlah agama dan
tidak merupakan sinkretisasi ajaran agama-agama, tetapi Pancasila bukan pula
produk pemikiran sekuler yang bertentangan dengan budaya religius Indonesia.
Pancasila adalah anak kandung dari budaya Indonesia yang sudah sejak dahulu kala
menjadikan agama sebagai etosnya. Karena itu, tak ada jalan untuk melepaskan
Pancasila menjadi sekuler, sebab hal itu berarti memisahkan manusia Indonesia dari
jati diri tertentu dalam memaknai Pancasila, apalagi menggantikannya, karena
hal itu merupakan pengingkaran terhadap keragaman agama, etnis dan budaya yang
sudah menjadi jati diri keindonesiaan kita.
Pancasila digagas untuk kesejahteraan rakyat. Jika
Pancasila diawali dengan sila ketuhana, maka ia diakhiri dengan sila Keadilan
Sosial. Dua sial tersebut diantarai dengan tiga sila lainnya, yakni :
Kemanusiaan, Persatuan (kebangsaan) dan Kerakyatan (demokrasi). Semua itu
berarti bahwa sila Ketuhanan menghendaki pengalaman nila agama yang
menitikberatkan pada terwujudnya persaudaraan kebangsaan, keadilan dan
kamakmuran rakyat. Hal ini mustahil dicapai jika setiap umat beragama bersikap
egois untuk kepentingan eksklusif agamanya sendiri. Umat bergama harus bersikap
inklusif dengan mengamalkan nilai-nilai universal agamanya yang toleran pada
agama lain.
Bagi Umat Islam, contoh yang paling tepat mengenai
hal di atas ialah sunnah yang pernah dipraktikkan Nabi Muhammad, dengan
mengutamakan nilai universal Islami ketimbang simbol tekstual, demi perdamaian
bagi masyarakat yang beragam. Coba ingat, ketika Nabi Muhammad melakukan
perundingan damai dengan kaum Quraisy Mekkah pada 628 M (tahun 6 H) di
Hudaibiyah. Hampir saja perdamaian itu gagal, akibat keberatan pihak Quraisy
terhadap Basmalah (bismi Allahi
al-rahmani al-rahim) yang tertulis pada awal naskah perdamaian. Pastilah
tak ada sahabat Nabi Muhammad mementingkan solusi damai ketimbang simbol
formal; maka Nabi pun meminta tulisan Basmalah diganti dengan kalimat yang
lebih singkat bi ismika Allahumma, yang
dapat diterima oleh semua pihak. Sungguh luar biasa, Rasulullah saw benar-benar
memberi rahmah (rahmatan li al-alamin)
untuk perdamaian tersebut.
Dalam konteks kebangsaan kita, sikap itu pula yang
memotivasi pendiri negara, ulama dan generasi Muslim angkatan 1945 untuk
menghapuskan tujuh kata dalam rumusan Pancasila : “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan perdebatan sengit dan
pertimbangan yang mendalam, sila pertama Pancasila itu akhirnya disepakati
dengan rumusan kalimat yang lebih singkat: Ketuhanan yang Maha Esa. Kalimat
singkat ini menghargai pluralitas antarumat beragama di Indonesia, dengan
bertumpu pada nilai universal kemanusiaan, yang jauh dari egoisme
eksklusifistik. Egoisme dalam beragama sangatlah berbahaya bagi masyarakat
majemuk Indonesia, sebab membuat kaum minoritas mengalami tekanan psikologis,
bahkan terkadang tekanan fisik dalam menjalankan agamanya. Hal ini telah
diperingatkan oleh Bung Karno ketika menyampaikan pidato lahirnya Pancasila
pada 1 Juni 1945:
“hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah tuhan dengan leluasa. Segenap rakyat
hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Marilah
kita amalkan, jalankan agama, baik islam maupun Kristen dengan cara yang
berkeadaban apakah cara yang yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati
satu sama lain.”
Demikian
sedikit ulasan mengenai Pancasila dengan ajaran agam-agamanya semoga bermanfaat
bagi kita semua ,,,,,
0 komentar:
Posting Komentar