CatatanKu - Sebagai
agama universal, islam kemudian menjadi roh bagi bangkitnya paham dan
pergerakan nasionalis sesuai kontek zaman dan
kondisi sosial pada masing-masing bangsa. Dalam konteks seperti itulah
menanggapi bangkitnya pergerakan islam Indonesia menjelang kemerdekaan, bung
Karno menyatakan :
Banyak
nasionalis-nasionalis di antara kita yang sama lupa bahwa pergerakan
nasionalisme dan islamisme di Indonesia ini –ya, diseluruh asia ada sama
asalnya,... dua-duanya berasal melawan nafsu barat, sehingga sebenarnya bukan
lawan melainkan kawanlah adanya. Betapa lebih luhhurnya sifat nasionalis Prof
T.L. Varwani, seorang yang bukan islam yang menulis : “jikalau islam menderita
sakit maka roh kemerdekaan timur tentulah sakit juga, sebab makin sangatnya
negeri-negeri Muslim kehilangan Kemerdekaannya makin sangat pula imprealisme
eropa menceklik roh Asia.
Nasionalis-nasionalis
itu lupa, bahwa orang islam yang sungguh-sungguh menajalankan keislamannya,
baik orang arab maupun orang india, baik orang mesir maupun orang manapun juga,
jikalau ia berdiam di Indonesia wajib pula bekerja untuk keselamatan Indonesia
itu. Di mana-mana orang Islam bertempat.... di situlah ia harus mencintai dan
bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya. Inilah nasionalisme Islam!
Sempit budi dan sempit pikiranlah nasionalisme yang memusuhi islamisme serupa
ini.”
Demikianlah,
maka kebangkitan nasionalisme islam di indonesia di tandai dengan lahirnya
sejumlah pergerakan, baik dalam bentuk madrasah, maupun organisasi sosial dan
partai politik, adalah bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Kebangkitan itu sebenarnya merupakan lanjutan dari perlawanan raja-raja lokal dalam
sejumlah kesultanan yang ada di tanah air. Seperti diketahui dari perlawanan
kerajaan-kerajaan itu terkenal pahlawan muslim antara lain Pangeran Diponegoro
dan Kiai Maja (Jawa), Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Sultan Hasanuddin
(Makassar), Sultan Khairun (Ternate), Sultan Nuku (tidore), Pangeran Hidayat
(Banjar), Sultan Basyaruddin (Deli),
Teuku Umar, Cut Nyak Din (Aceh), dan lain-lain, untuk sekedar menyebut,
bahkan Kapitan Pattimura ada yang menyebutnya sebagai Muslim.
Setelahh
Belanda dapat menaklukkan semua penguasa Lokal, termasuk Kesultanan Muslim itu,
Belanda dengan leluasa menguasai bangsa Indonesia dalam segala aspeknya. Dalam
suasana demikianlah, perjuangan kebangsaan mengambil bentuk lain, dengan
lahirnya gerakan-gerakan dalam bentuk organisasi atau madrasah (sekolah), Kelompok diskusi,
serikat dagang, bahkan berupa partai politik. Jadi, dengan segala coraknya itu,
gerakan keislaman di Indonesia bersatu dalam hal kebangsaan, yaitu melawan
penjajahan untuk membangun negara kebangsaan Indonesia.
Salah
satu gerakan yang menandai kesadaran nasionalisme islam di Indonesia ialah
bangkitnya kaum ulama si Sumatera menghadapi Kolonial Belanda. Gerakan ini
bermula sekembalinya sejumlah ulama Indonesia ke tanah air, H. Miskin dan
kawan-kawan dari belajar di Hijas pada tahun 1802. Di Minangkabau mereka
dikenal dengan gelar “Harimau nan Salapan,” yakni H. Miskin tuanku di Kubu
Sanang, Tuanku di Koto Ambalau, Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar,
Tuanku di Galung, Tuanku dilubuk Aur, dan tuanku Nan Renceh. Mereka inilah yang
memelopori gerakan pemurnian Islam, merombak secara radikal tradisi masyarakat
yang secara prinsip bertentangan dengan syariah. Maka, gerakan ini nantinya
berhadapan langsung dengan Belanda yang berpihak pada Kaum Adat, ketika konflik
horisontal terjadi antara Kauf Salaf (pemurni) dan Kaum Adat dalam perang
Paderi.
Gerakan
ini kemudian lebih dikenal masyarakat luas setelah didirikannya suatu perguruan
di Bonjol, di bawah pimpinan Mali Basa yang lebih masyhur dengan Imam Bonjol.
Kaum adat yang tidak senang terhadap perkembangan gerakan Salaf, memberikan
perlawanan keras. Bahkan dengan dukungan Belanda, akhirnya mereka berhasil
mengalahkan kaum ulama dalam perang Paderi (1822-1837)
Generasi
muda kaum Salafiyah tersebut meneruskan perjuangannya dengan membentuk wadah
pendidikan “Sumatera Thawalib” lembaga pendidikan ini pada mulanya merupakan
gabungan dari perkumpulan pelajar di bawah asuhan Syekh Abdul Karim Amrullah
(ayahanda Buya Hamka) di Padang Panjang, dan perkumpulan yang sama di bawah
asuhan Syekh Ibrahim Musa di Parabek. Akhirnya perkumpulan yang sama di
sejumlah daerah pun menggabungkan diri dengan sepakat membentuk satu organisasi
pada 1922 dengan nama Sumatera Thawalib yang diketuai oleh H. Jalaluddin Taib.
Para
pentolan madrasah tersebut mengajarkan paham kebebasan bermazhab, kebebasan
berpikir dan kemerdekaan politik dari penjajah Belanda. Karena itu buku-buku
yang diajarkan bersikap toleransi bermazhab, metode Ijtihad dan buku fikih
lintas mazhab, antara lain kitab bidayat Al-Mujtahid karya ibn Rusyd. Tidak
kurang pula tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla, yang
mendorong perjuangan Muslim melawan kolonialisme Barat.
Sumatera
Thawalib kemudian menjadi basis berdirinya organisasi Persatuan Muslim
Indonesia (PERMI) tahun 1930, yang dipelopori oleh Datuk Batuah seorang guru
yang secara radikal menentang Belanda. Tak lama kemudian PERMI resmi menjadi
partai politik (1932) dipunggawai sejumlah tokoh penting seperti H. Ilyas
Yakob, Mokhtar Luthfi dan H. Jalaluddin Taib. Melihat ancaman dari gerakan
Salafiyah muda terhadap kekuasaan Belanda, pihak kolonial kemudian melakukan
tekanan terhadap pergerakan tersebut. Tokoh-tokonya banyak yang dibuang ke
Digul. Akhirnya pada 1937 PERMI bubar, walaupun perguruan Sumatera Thawalib
sendiri tidak di bubarkan.
Masih
di Sumatera berdiri pula sebuah organisasi yang bercorak tradisional bermazhab
syafi’i yakni Jami’at al-washliyah (didirikan pada 30 Nopember 1930) di Medan.
Organisasi ini dipelopori dan dan dipimpin pertama oleh Abdurrahman Syihab
bersama sejmulah rekan-rekannya dari kelompok pengajian Maktab al-islamiyah
asuhan Syekh M. Yunus dan Syekh Ja’far Hasan. Selanjutnya Jami’ah alwashliyah
banyak melakukan kegiatan da’wah dan pendidikan. Sebagian tokoh-tokonya pun
aktif dalam politik, terutama setelah organisasi ini bergabung ke dalam Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Laskar bersama sejumlah organisasi lainnya,
dan mengeluarkan fatwa bahwa “gugur dalam mempertahankan kemerdekaan adalah
mati syahid.”
Baca Yang ini Juga Ya....
0 komentar:
Posting Komentar